Sabtu, 11 Februari 2012

Hilangnya Nilai-nilai Pancasila Dalam Pemerintahan


Hilangnya Nilai-nilai Pancasila Dalam Pemerintahan
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan hasil dari atau digali dari pandangan hidup, kesadaran cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang meliputi suasana atau keadaan kejiwaan dan watak dari rakyat Indonesia yang bersangkutan. Sumber dari tertib hukum bangsa Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari bangsa Indonesia, adalah cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, prikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai cerminan dan pembentuk watak, karakter dan budi nurani manusia yang suci.
Dengan menjadikan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, berarti menjadikannya sebagai ukuran dalam menilai hukum kita yang berlaku sekarang yaitu hukum positif. Yang mana aturan-aturan hukum yang ada dan diterapkan dalam masyarakat haruslah mencerminkan kesadaran dan keadilan sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia, yaitu pancasila. Hukum di Indonesia hendaklah menjamin dan menegakkan nilai-nilai yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945 yang merupakan pencerminan pancasila dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945 serta penjelasannya.
Dengan penjabaran seperti di ungkapkan diatas, pancasila mengandung makna atau memiliki nilai kerohanian. Tetapi nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai materil dan nilai vital. Dengan perkataan lain, pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu didalamnya juga terkandung pula nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai materil, vital, kebenaran estetis, etis, maupun relegius. Hai ini dapat dibuktikan dalam sila-sila pancasila, mulai dari sila pertama sampai sila kelima, yang tersusun secara sistematis, hirarkis dan bulat utuh. Adapun dari sila-sila tersebut ialah: Ketuhanana Yang Mahaesa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,  Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seperti yang tercermin dalam sila keempat pancasila ini tergambar jelas, bahwa rakyat dalam menjalankan kekuasaannya memakai sistem perwalian, serta keputusan yang dibuat berdasarkan kepentingan rakyat keseluruhannya, yang diambil melalui musyawarah dan mifakat, dan dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab, baik kepada tuhan Yang Mahaesa, maupun kepada rakyat yang diwakilinya. Dan didalam sila kelima, mengandung arti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil dari segala bidang, seperti hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dan juga mengandung pengertian keadilan dan kemakmuran.
Melihat fakta sekarang, sesuai dengan yang tercermin didalam sila keempat dan kelima, nilai yang terkandung didalamnya tidak bisa sepenuhnya terealisasikan dengan baik didalam wajah pemerintahan kita sekarang, sebagai contoh anggota dewan kita yang sekarang ini, yang mana posisinya sebagai pembawa atau pengemban amanat rakyat, sudah kehilangan arah, kesadaran dan kebenaran, ibarat berjalan dijalan yang gelap tanpa penerangan, dengan meraba-raba, bergerak dan bertindak berdasarkan naluri, naluri yang berdasarkan nafsu atau keinginan untuk kepentingan pribadi, keinginan memuaskan kehendak yang tanpa batas, dan  memperkaya diri. Banyak pejabat-pejabat Negara kita yang hanya mendambakan gelar atau gila gelar, gelar palsu yang dijadikan aksesoris gaya hidup yang layak disembah-sembah. Sekedar punya banyak gelar, tapi kosong akan kepabilitas intelektualnya. Gelar yang berderet-deret tapi tidak satupun diperolehnya dengan benar, ini menunjukkan model manusia bergelar yang kehilangan nalar, nalar yang dimatikan oleh nafsu kekuasaan atau gelar. gelar palsu sudah mengalahkan, bahkan mematikan kearifan dan melupakan tugasnya sebagai pembawa amanat rakyat.
Gambaran mental palsu itu tercermin dalam kepribadiaanya, tidak satupun janji-janji, sumpah-sumpah, ucapan ucapan yang dapat terealisasikan atau terlaksana secara utuh, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Memang sangat manusiawi, orang mengiginkan pengakuan atas status sosialnya, namun sangat tidak manusiawi, atau dehumanisasi diri jika gelar, pangkat, jabatan dan kedudukan itu diperoleh dengan menghalalkan segala cara yang membawanya pada pembalasan di kemudian hari atas kerugian yang dideritanya dalam mendapatkan gelarnya tersebut. Rakyat dijadikan sebagai sumber keuangannya, sumber penghasilannya yang kapan saja bisa diambil dengan bebas, jalan-jalan keluar negri dengan berkedok studi banding, dengan menghabiskan uang rakyat ratusan juta rupiah, tapi apa yang didapatkan, hanya kepuasan pribadinya saja, amanat rakyat dilupakan, bagaimana mau mencapai suatu keadilan dan kepastian hukum, yang menjadi ujung tombak rakyat, sudah digerogoti oleh manusia yang gila gelar dan tangan-tangan kotor.
Memang untuk menjadi seorang pejabat negara itu tidaklah mudah atau gampang, banyak jalan-jalan yang berliku harus ia lalui dan syarat-syarat yang harus ia penuhi, yang mana menjadi pejabat negara adalah tempat terhormat yang menjadi incaran dan dambaan setiap orang, dengan iming-iming gaji tinggi, pasilitas yang cukup, tunjangan yang tinggi, dan status sosial yang yang terpandang, dan tidak  terlepas dari tanggung jawab yang sangat besar harus ia emban, tapi hal itu dinafikan, dianggap sebagai hal yang tidak perlu, bahkan tidak penting lagi. Hal ini lah yang menyebabkan para pemburu gelar itu berduyun,  berlomba-lomba inginan mendapatkannya, dengan menghalalkan segala cara, agar keinginan itu terpenuhi. Hal itu akan selalu terjadi dan bahkan akan terus berlanjut, jika di dalam diri setiap para pemimpin kita tidak memiliki hati nurani, akal budi dan moral keilmuan yang tinggi dalam menjalankan roda pemerintahan yang sedang dijalankannya.
Baru-baru ini, marak terdengar akan dikeluarkannya Undang-undang tentang intelejen Negara, yang mana di antara bebera pasal dalam rancangan Undang-undang tentang intelejen tersebut, bertentangan dengan UU No. 14 Th 2008 tentang keterbukaan informasi publik atau sering disebut dengan KIF. Sudah jelas bahwa sekarang ini, peran pemegang amanat rakyat sudah jauh dari harapan, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang terkandung didalam undang-undang, hanya impian belaka. Hal itu lah yang membuat sebagian masyarakat mulai menunjukkan taringnya, dengan berduyun-duyun dan berteriak dengan lantangnya dijalan-jalan, menuntut keadian dari sang penguasa. Berkenaan dengan hal itu, Albert Enstein, pernah berkata, bahwa dunia ini akan semangkin berbahaya bukan karena kejahatan yang dilakukan oleh penjahatnya, tetapi akibat perbuatan kita yang membiarkan kejahatan terjadi disekitar kita.
Kritik tajam yang diungkapkan Enstein ini menunjukkan bahwa besarnya dampak bahaya yang ditimbulkan oleh penjahat, masih kalah oleh dampak dari masyarakat yang selalu mendiamkan, acuh tak acuh, membiarkan lepas bebas tanpa konrol atau bersikap masa bodoh terhadap kejahatan yang terjadi.

                                                                                    Oleh: Asmadi
                                                                                    NIM: A01110110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar